BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Banyak perbincangan dikalangan
orang-orang awam dan para pelajar akan sebuah realita terhadap pengaflikasian
tentang tasawuf. Yang mungkin sampai saat ini masih menjadi perdebatan antara
pihak-pihak yang memiliki kepentingan tersendiri.
Beberapa poin yang sering di jadikan tema perdebatan tersebut. Diantaranya adalah tasawuf falsafi, karna tasawuf falsafi adalah salah satu pijakan yang penting dengan terealisasinya sebuah pemikiran akan Tuhan dan mahluk ciptaannya. Dan kata tasawuf selalu tidak lepas dengan kata sufi yang berasal dari kata Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadah, terutama salat dan puasa. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia. Dengan demikian, sangatlah wajar jika dalam pencapaiannya memiliki banyak rintangan karna tasawuf itu sendiri menawarkan tema-tema dalam meraih kesempurnaan.
Beberapa poin yang sering di jadikan tema perdebatan tersebut. Diantaranya adalah tasawuf falsafi, karna tasawuf falsafi adalah salah satu pijakan yang penting dengan terealisasinya sebuah pemikiran akan Tuhan dan mahluk ciptaannya. Dan kata tasawuf selalu tidak lepas dengan kata sufi yang berasal dari kata Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadah, terutama salat dan puasa. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia. Dengan demikian, sangatlah wajar jika dalam pencapaiannya memiliki banyak rintangan karna tasawuf itu sendiri menawarkan tema-tema dalam meraih kesempurnaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tasawuf Falsafi
Tasawuf
falsafi disebut pula dengan tasawuf nazhari, merupakan tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf
falsafi menggunakan terminologi falsafi
dalam pengungkapan ajarannya. Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai
muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun
para tokohnya baru dikenal seabad kemudian.
Ciri umum tasawuf falsafi menurut
At-Taftazani adalah ajarannya yang samara-samar akibat banyaknya istilah khusus
yang hanya dapat difahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis
ini. Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan
metodenya didasarkan pada rasa(dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan
sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering
diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.
Sedangkan ciri khusus tasawuf
falsafi yaitu:
1. Tasawuf filosofis hanya
mengonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan
menggabungkan antara pemikiran
rasional-filosofis dengan perasaan(dzauq). Meskipun demikian, tasawuf
jenis ini juga sering mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber
naqliyah, tetapi dengan interpretasi dan ungkapan yang samar-samar dan sulit
dipahami orang lain.
2. Didasarkan pada latihan-latihan
rohaniah (riyadhah), yang maksudkan sebagai peningkatan moral, yakni
untuk mencapai kebahagiaan.
3. Tasawuf filosofis memandang iluminasi
sebagai metode untuk mengetahui berbagai
hakikat realitas, yang menurut pelakunya bisa dicapai dengan fana.
4. Para penganutnya selalu menyamarkan
ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau terminologi
Perlu
dicatat, dalam beberapa segi, para sufi-filosof ini melebihi para sufi sunni.
Karena mereka adalah para teoritis yang baik tentang wujud, kelihaian mereka
dalam menggunakan simbol-simbol, dan kesiapan mereka yang sungguh-sungguh
terhadap diri sendiri atau ilmunnya.
B.
Objek
Utama
Menurut Ibn
khaldun, sebagaimana yang dikutif oleh at-taftazani, dalam karyanya
al-muqadimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama tasawuf falsafi, yaitu:
a.
latihan rohaniyah dengan rasa,
intuisi, serta instroprksi diri yang timbul darinya.
Mengenai
latihan
rohaniah dengan tahapan Maqam maupun keadaan (hal), rohani serta rasa(dzauq).
Disini tedapat kesamaan dengan tasawuf
sunni.
b.
Iluminasi atau
hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat robbani,
‘arty, kursi,
malaikat,
wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib, maupun
yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptaannya. Mengenai iluminasi
ini para sufi dan juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan
mematikan kekuatan syhwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan
Dzikir, dengan dzikir menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat
realitas-realitas.
c.
Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun
kosmos yang berpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
d. Penciptaan
ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syathahiyyat), yang
dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
menginkarinya,
menyetujui, ataupun menginterpretasikannya dengan interpretasi
yang berbeda-beda.
1. Ibn ‘Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali
bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami. Lahir di mercia, Andalusia
Tenggara, spanyol, tahun 560 H. Di Seville(Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an,
hadis, serta fiqh pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yaitu
Ibn Hazm Azh-Zhahiri. Usia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan
Andalusia dan kawasan islam di bagian barat, di antara deretan guru-gurunya
adalah Abu Madyan Al-Ghauts At-Thalimsari dan Yasmin Musyaniyah. Di antara
karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201
pada saat menaikkan ibadah haji. Karya lainnya adalah Masyahid Al-Asrar,
Mathali Al-Anwar AL-Illahiyah al-Isra ila Maqam Al-Atsana.
Adapun ajaran-ajarannya adalah:
a. wahdat al-wujud
Wahdat Al-Wujud merupakan ajaran sentralnya. Namun, istilah
tersebut bukan berasal dari dia, tetapi dari ibn Taimiyah, tokoh yang paling
keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Menurut Ibn
Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya
orang-orang yang mempunyai paham tersebut mengatakan bahwa wujud itu
sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khalik adalah
juga mungkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang
mempunyai paham ini juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan,
tidak ada perbedaan. Dari pengertian tersebut, Ibn Taimiyah menilai ajaran
sentral Ibn Arabi dari aspek tyasbihnya (penyerupaan khalik dan makhluk) saja,
tetapi belum menilainya dari aspek tanzihnya (penyucian khalik). Sebab, kedua
aspek tersebut terdapat dalam ajaran Ibn Arabi.
Menurut Ibn Arabi, wujud yang ada semua ini hanya satu dan
wujud makhluk pada hakikatnya wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara
keduanya dari segi hakikat.adapun jika ada yang mengira bahwa antara keduanya ada perbedaan , hal itu
dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas
kemampuannya dalam menangkap hakikat
yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu
berhimpun padanya. Hal ini tersimpul dalam ucapan ibn Arabi berikut:
سُبْحَانَ مَنْ اَظْهَرَ الاَشْيَاءَ
وَهُوَ عَيْنُهَا
Artinya:
“ Maha suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu
itu.”
Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud
allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara abid (menyembah) dengan ma’bud (yang
disembah). Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam hakikat yang satu.
Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan
oleh khalik dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebagai sebab dari
segala yang berwujud selain Tuhan. Oleh
karena itu Tuhanlah yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan
hanya mempunyai wujud yang bergantung pada pada wujud di luar dirinya, yaitu
wujud Tuhan.
Selain itu, Ibn Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dan
alam. Menurutnya, alam ini
adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam itu tidak
mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karenanya, ala mini merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan) Tuhan.
Menurutnya, ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga
memberiikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin
yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karenanya Allah
menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam
ini merupakan mazhar dari asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam,
sifat dan asma-Nya akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk zat yang
tinggal dalam ke-mujarrad-an(kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal
oleh siapapun.
Dalam fushus Al-Hikmah, Ibn Arabi menjelaskan hal tersebut
dengan ungkapan:
وَمَاالوَجْهُ اِلَّاوَاحِدٌ , غَيْرَ
اا نهُ اِذَ اَنْتَ اَعْدَدْتَ المَرَيا تعَدَّدَا
“Wajah itu sebenarnya hanya satu,
tetapi jika anda perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak.
Untuk memperkuat pendiriannya itu, Ibn Arabi merujuk sebuah
hadis qudsi:
كُنْتُ
كَنْزًا مَخْفِيًّا فَاَحْبَبتَ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقتَ الخلَقَ فَبِهِ عَرَفُونى
“aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi,
kemudian aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk, lalu dengan itulah mereka
mengenal Aku. Se
Selanjutnya, Ibn Arabi menjelaskan bahwa firman Allah mengandung pengertian,”Tanzihkanlah Dia,”
sedangkan firmannya, mangandung pengertian “Tyasbihkanlah Dia”.
Dari penjelasan tersebut, jelas sekali bahwa Ibn Arabi masih
membedakan antara Tuhan dengan alam, dan wujud Tuhan tidak sama dengan wujud
alam.
b. Haqiqah Muhammadiyah
Dari konsep wahdat al-wujud di atas, muncul lagi dua konsep,
yaitu konsep al-hakikat al-Muhammadiyah dan konsep wahdat al-adyan(kesamaan
agama).
Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta.
Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut:
1. Tajjalii Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan
tsabitah,
2. Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat)
realitas-realitas
rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad.
3. Tanazul pada realitas-realitas nafsiyah,
yaitu alam nafsiyah berpikir.
4. Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan msiteri, yaitu alam
mitsal(ide) atau khayal.
5. Alam materi, yaitu alam indrawi.
Ibn Arabi menjelaskan pula bahwa terjadinya alam ini tidak
dapat dipisahkan dari ajaran hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Menurutnya
tahapan-tahapan proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran
tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut:
a. Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak,
yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada
sesuatu apapun.
b. Wujud hakikat Muhammadiyah sebagai
emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud
Tuhan , lalu muncul semua yang wujud dengan proses
tahapan-tahapannya.
Dengan demikian ibn arabi menolak ajaran yang mengatakan
bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihilio). Ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai
kesempurnaan ilmiah danamaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak
adam sampai Muhammad dan terealisasikan
dari Muhammad pada diri para pengikutnya, kalangan para wali, dan insan kamil (manusia sempurna). Kadang-kadang ia
menyebut hakikat Muhammadiyah dengan Quthb
dan terkadang dengan ruh Al-Khatam
c. Wahdatul adyan
Adapun yang dimaksud dengan konsepnya, wahdat al-adyan
(kesamaan agama) Ibn Arabi mamandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu
hakikat Muhammadiyah. Maka semua agama adalah tunggal dan semuanya itu
kepunyaan Allah.
2. Ibn Sab’in
Nama lengkapnya adalah Ibn Sab’in Abdul Haqq ibn Ibrahim
Muhammad Ibn Nashr. Di lahirkan tahun 614 H di Murcia. Ibn Sab’in mempunyai
asal usul Arab dan juga mempelajari ilmu-ilmu agama dari mazhab maliki,
ilmu-ilmu logika, dan filsafat. Di antara guru-gurunya adalah Ibn dhihaq, yang
terkenal dengan Ibn Al-Mir’ah (meninggal tahun 611 M), pensyarah karya
al-irsyad. Karena Al-mir’ah wafat sebelum Ibn Sab’in lahir, maka jelas Ibn
Sab’in menjadi muridnya hanya melalui kajiannnya pada karya-karya ibn mir’ah.
Tahun 640 H, Ibn Sab’in dengan sebagian muridnya
meninggalkan Murcia menuju Afrika Utara.pertama-tama, Ibn Sab’in menjejakkan
kakinya di Ceuta. Di kota Ceuta ini, Ibn Sab’in banyak menelaah kitab-kitab
tasawuf serta memberiikan pengajaran. Pada tahun 6480 H Ibn Sab’in sampai di
kairo. Namun para fuqaha dunia islam mengutus seorang utusan ke mesir untuk
memperingatkan penduduk itu bahwa Ibn Sab’in adalah seorang atheis yang
menyatakan kesatuan khalik dengan makhluk. Kemudian dia pergi ke Mekah untuk
menyiarkan kembali ajarannya.
Ibn Sab’in meninggalkan karya sebanyak 41 buah, yang
menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun praktis. Sebagian risalahnya
telah disunting Abdurrahman Badawi dengan judul Rasa’il Ibn Sab’in(1965 M),
Jawab shahih Shiqilliyah, telah disunting oleh Syaripuddin Yaltaqiya.
Adapun ajaran-ajaran Tasawufnya adalah :
a.
Kesatuan
mutlak
Ibn Sab’in adalah seorang penggagas sebuah faham dalam
kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan faham kesatuan mutlak. Disebut
paham kesatuan mutlak karena paham ini berbeda dari paham-paham tasawuf yang memberi ruang lingkup pada
pendapat-pendapat tentang hal yang mungkin dalam suatu bentuk.
Dalam paham ini Ibn Sab’in menempatkan keTuhanan pada tempat
pertama. Wujud allah, menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu,
masa kini maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dia
rujukkan pada wujud mutlak yang rohaniyah. Ibn Sab’in terkadang menyerupakan
wujud dengan lingkaran, porosnya adalah wujud yang mutlak, sementara wujud yang
nisbi alias sempit berada dalam lingkaran.
b. Penolakan terhadap logika
Aristotelian
Pahamnya tentang kesatuan mutlak, telah membuatnya menolak
logika Aristotelian. Oleh karenanya, dalam karyanya BuddAl-Arif, ia berusaha
menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif, sebagai pengganti logika
yang berdasarkan pada konsepsi jamak.
Diantara kesimpulan-kesimpulan penting Ibn Sab’in dengan
logikanya adalah realitas-realitas logika itu alamiah adanya dalam jiwa
manusia, dan keenam kata logika ( genus, species, difference, proper, sccident,
person) yang memberi kesan adanya wujud yang jamak, hanya sekedar ilusi semata.
Ibn Sab’in juga mengembangkan pahamnya tentang kesatuan mutlak ke berbagai
bidang bahasaan filosofis. Misalnya, menurutnya jiwa dan akal budi tidak mempunyai wujudnya sendiri. Dan moral
menurutnya di tandai corak kesatuan
mutlak.
3. Al-Jili
Nama lengkapnya adalah abdul karim bin Ibrahim Al Jilli.
Lahir pada tahun 1365 M, di jillan (Gilan) wafat pada tahun 1417 M. ia adalah
seorang sufi terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui
oleh para ahli sejarah. Tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah
melakukan perjalanan ke india tahin 1378 M. lalu belajar tasawuf di bawah
bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani. Di samping itu, berguru pula pada Syeh Syarif
Isma’il Bin Ibrahim Al-Zabarti di Zabid
(Yaman) tahun1393-1403 M.
Adapun
ajaran-ajaran tasawufnya adalah sebagai berikut:
a. Insan kamil
Ajaran tasawuf yang terpentingnya adalah paham insan kamil
(manusia sempurna). Menurutnya, insane kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan,
seperti yang disebutkan dalam hadis yang artinya:
“Alllah menciptakan adam dalam
bentuk yang Maha Rahman.”
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada
dasarnya merupakan milik insane kamil sebagai suatu kemestian yang inheren
dengan esensinya. Lebih lanjut al-jilli
mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insane kamil bagaikan
cermin. Insane kamil tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama
Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin
insane kamil.
Kemudian al-jilli berkata bahwa duplikasi al-kamal
(kesempurnaan)pada dasarnya dimiliki oleh semua manusia. Intensitas al-kamal
yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW. Manusia lain, baik nabi ataupun wali bila
dibandingkan dengan nabi Muhammad bagaikan al-kamil(yang sempurna) dengan
al-akmal(yang paling sempurna) atau al-fadil(yang utama) dengan al-afdhal(yang
paling utama).
b. Maqamat (Al-Martabah)
Berhubungan dengan insan kamil, Al-Jilli merumuskan beberapa
maqam yang harus di lalui seorang sufi. Dalam istilahnya, maqam itu disebut
Al-Martabah (jenjang/tingkatan), di antaranya adalah :
1. Islam 5. Qurbah
2. Iman 6. Shiddiqiyah
3. Ash-shalah 7. Syahadah
4. Ihsan
4. Ibn Masarah
Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Abdullah Bin Masarrah
(269-319 H. ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filosof dari Andalusia.
Ia memberiikan pengaruh yang besar
terhadap madzhab Al-Mariyyah. Bersamaan dengan ibn masarrah, di
Andalusia telah muncul tasawuf filosofi. Ia lebih banyak disebut-sebut sebagai filosof dari pada sufi. Pada mulanya ia merupakan penganut sejati
aliran mu’tazilah, lalu berpalingpada mazhab neoplatonisme. Oleh karena itu, ia
di anggap mencoba menghidupkan kembali filsafat yunani kuno.
Di antara ajaran-ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut:
1. Jalan menuju keselamatan jiwa adalah
menyucikan jiwa, zuhud dan mahabbah yang
merupakan asal dari semua kejadian.
Di antara pemikiran ibn masarrah adalah bahwa jalan
keselamatan adalah penyucian diri, kezuhudan, tindakan mempriotaskan akal atas
panca indera dan berusaha kembali kepada cinta merupakan pokok utama kehadiran
manusia di alam semesta. Sebab, dengan cara itu, berbagai unsure kejadiannya
akan bersatu satu sama lainnya, sehingga terbentuklah suatu kesatuan(al-wahdah)
atau seluruh maujud akan berkumpul dalam kecintaan, kebencian, kasih saying,
dan keterpaksaan seperti asalnya.
2. Penakwilan ala phylum atau aliran
ismailiyyah terhadap ayat-ayat al-qur’an
Di antara pemikiran yang di anggap ciri khas ibn masarrah
adalah berpegang teguh pada prinsip penakwilan (ta’wil) sejalan dengan
pemikiran philon iskandar atau sekte
ismailiyyah. Ibn masarrah sangat banyak melakukan penakwilan atas ayat-ayat
al-qur’an dengan corak penakwilan sekte kebatinan. Ia menolak kebangkitan
jasmani di akhirat, menafikan pengetahuan Allah SWT tentang hal-hal particular
kecuali bila sudah terjadi.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment