Friday 16 January 2015

makalah FALSAFI

BAB I
PENDAHULUAN
Banyak perbincangan dikalangan orang-orang awam dan para pelajar akan sebuah realita terhadap pengaflikasian tentang tasawuf. Yang mungkin sampai saat ini masih menjadi perdebatan antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan tersendiri.
Beberapa poin yang sering di jadikan tema perdebatan tersebut. Diantaranya adalah tasawuf falsafi, karna tasawuf falsafi adalah salah satu pijakan yang penting dengan terealisasinya sebuah pemikiran akan Tuhan dan mahluk ciptaannya. Dan kata tasawuf selalu tidak lepas dengan kata sufi yang berasal dari kata Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadah, terutama salat dan puasa. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia. Dengan demikian, sangatlah wajar jika dalam pencapaiannya memiliki banyak rintangan karna tasawuf itu sendiri menawarkan tema-tema dalam meraih kesempurnaan.









BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Tasawuf Falsafi
        Tasawuf  falsafi disebut pula dengan tasawuf nazhari, merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf falsafi menggunakan terminologi  falsafi dalam pengungkapan ajarannya. Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian.
Ciri umum tasawuf falsafi menurut At-Taftazani adalah ajarannya yang samara-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat difahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa(dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.
Sedangkan ciri khusus tasawuf falsafi yaitu:
1.      Tasawuf filosofis hanya mengonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan
menggabungkan antara pemikiran rasional-filosofis dengan perasaan(dzauq). Meskipun demikian, tasawuf jenis ini juga sering mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber naqliyah, tetapi dengan interpretasi dan ungkapan yang samar-samar dan sulit dipahami orang lain.
2.      Didasarkan pada latihan-latihan rohaniah (riyadhah), yang maksudkan sebagai peningkatan moral, yakni untuk mencapai kebahagiaan.
3.      Tasawuf filosofis memandang iluminasi sebagai  metode untuk mengetahui berbagai hakikat realitas, yang menurut pelakunya bisa dicapai dengan fana.
4.      Para penganutnya selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas-realitas  dengan berbagai simbol atau terminologi
Perlu dicatat, dalam beberapa segi, para sufi-filosof ini melebihi para sufi sunni. Karena mereka adalah para teoritis yang baik tentang wujud, kelihaian mereka dalam menggunakan simbol-simbol, dan kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri atau ilmunnya.
B.        Objek Utama
Menurut Ibn khaldun, sebagaimana yang dikutif oleh at-taftazani, dalam karyanya al-muqadimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama tasawuf falsafi, yaitu:
a.       latihan rohaniyah dengan rasa, intuisi, serta instroprksi diri yang timbul darinya.
Mengenai    
latihan rohaniah dengan tahapan Maqam maupun keadaan (hal), rohani serta rasa(dzauq).   Disini tedapat kesamaan dengan tasawuf sunni.
b.      Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat robbani,
     ‘arty, kursi,
malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib, maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptaannya. Mengenai iluminasi ini para sufi dan juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syhwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan Dzikir, dengan dzikir menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas.
c.       Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
             d.     Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
     (syathahiyyat), yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa  
      menginkarinya, menyetujui, ataupun menginterpretasikannya dengan interpretasi
      yang berbeda-beda.


C.        Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi
1.      Ibn ‘Arabi
      Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami. Lahir di mercia, Andalusia Tenggara, spanyol, tahun 560 H. Di Seville(Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an, hadis, serta fiqh pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yaitu Ibn Hazm Azh-Zhahiri. Usia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan islam di bagian barat, di antara deretan guru-gurunya adalah Abu Madyan Al-Ghauts At-Thalimsari dan Yasmin Musyaniyah. Di antara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 pada saat menaikkan ibadah haji. Karya lainnya adalah Masyahid Al-Asrar, Mathali Al-Anwar AL-Illahiyah al-Isra ila Maqam Al-Atsana.
Adapun ajaran-ajarannya adalah:
a.    wahdat al-wujud
Wahdat Al-Wujud merupakan ajaran sentralnya. Namun, istilah tersebut bukan berasal dari dia, tetapi dari ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang-orang yang mempunyai paham tersebut mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khalik adalah juga mungkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham ini juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan, tidak ada perbedaan. Dari pengertian tersebut, Ibn Taimiyah menilai ajaran sentral Ibn Arabi dari aspek tyasbihnya (penyerupaan khalik dan makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari aspek tanzihnya (penyucian khalik). Sebab, kedua aspek tersebut terdapat dalam ajaran Ibn Arabi.
Menurut Ibn Arabi, wujud yang ada semua ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat.adapun jika ada yang mengira  bahwa antara keduanya ada perbedaan , hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat  yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun padanya. Hal ini tersimpul dalam ucapan ibn Arabi berikut:
سُبْحَانَ مَنْ اَظْهَرَ الاَشْيَاءَ وَهُوَ عَيْنُهَا
Artinya: “ Maha suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu  dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu.”
Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam hakikat yang satu.
Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh khalik dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebagai sebab dari segala  yang berwujud selain Tuhan. Oleh karena itu Tuhanlah yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan.
Selain itu, Ibn Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam. Menurutnya, alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam itu tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karenanya, ala mini merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan) Tuhan.
Menurutnya, ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberiikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karenanya Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar dari asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an(kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
Dalam fushus Al-Hikmah, Ibn Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan:
وَمَاالوَجْهُ اِلَّاوَاحِدٌ , غَيْرَ اا نهُ اِذَ اَنْتَ اَعْدَدْتَ المَرَيا تعَدَّدَا
“Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika anda perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak.
Untuk memperkuat pendiriannya itu, Ibn Arabi merujuk sebuah hadis qudsi:
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَاَحْبَبتَ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقتَ الخلَقَ فَبِهِ عَرَفُونى
“aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk, lalu dengan itulah mereka mengenal Aku. Se
Selanjutnya, Ibn Arabi menjelaskan bahwa firman Allah  mengandung pengertian,”Tanzihkanlah Dia,” sedangkan firmannya, mangandung pengertian “Tyasbihkanlah Dia”.
Dari penjelasan tersebut, jelas sekali bahwa Ibn Arabi masih membedakan antara Tuhan dengan alam, dan wujud Tuhan tidak sama dengan wujud alam.
b.    Haqiqah Muhammadiyah
Dari konsep wahdat al-wujud di atas, muncul lagi dua konsep, yaitu konsep al-hakikat al-Muhammadiyah dan konsep wahdat al-adyan(kesamaan agama).
Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut:
1.        Tajjalii Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah,
2.      Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-realitas                                                                      rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad.
3.      Tanazul  pada realitas-realitas nafsiyah, yaitu alam nafsiyah berpikir.
4.      Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan msiteri, yaitu alam mitsal(ide) atau khayal.
5.      Alam materi, yaitu alam indrawi.
Ibn Arabi menjelaskan pula bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Menurutnya tahapan-tahapan proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut:
a.       Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada  
sesuatu apapun.
b.      Wujud hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud
Tuhan , lalu muncul semua yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya.
Dengan demikian ibn arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihilio). Ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah danamaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak adam sampai Muhammad  dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya, kalangan para wali, dan insan  kamil (manusia sempurna). Kadang-kadang ia menyebut hakikat Muhammadiyah dengan Quthb dan terkadang dengan ruh Al-Khatam
c.         Wahdatul adyan
Adapun yang dimaksud dengan konsepnya, wahdat al-adyan (kesamaan agama) Ibn Arabi mamandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyah. Maka semua agama adalah tunggal dan semuanya itu kepunyaan Allah.
2.      Ibn Sab’in
Nama lengkapnya adalah Ibn Sab’in Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad Ibn Nashr. Di lahirkan tahun 614 H di Murcia. Ibn Sab’in mempunyai asal usul Arab dan juga mempelajari ilmu-ilmu agama dari mazhab maliki, ilmu-ilmu logika, dan filsafat. Di antara guru-gurunya adalah Ibn dhihaq, yang terkenal dengan Ibn Al-Mir’ah (meninggal tahun 611 M), pensyarah karya al-irsyad. Karena Al-mir’ah wafat sebelum Ibn Sab’in lahir, maka jelas Ibn Sab’in menjadi muridnya hanya melalui kajiannnya pada karya-karya ibn mir’ah.
Tahun 640 H, Ibn Sab’in dengan sebagian muridnya meninggalkan Murcia menuju Afrika Utara.pertama-tama, Ibn Sab’in menjejakkan kakinya di Ceuta. Di kota Ceuta ini, Ibn Sab’in banyak menelaah kitab-kitab tasawuf serta memberiikan pengajaran. Pada tahun 6480 H Ibn Sab’in sampai di kairo. Namun para fuqaha dunia islam mengutus seorang utusan ke mesir untuk memperingatkan penduduk itu bahwa Ibn Sab’in adalah seorang atheis yang menyatakan kesatuan khalik dengan makhluk. Kemudian dia pergi ke Mekah untuk menyiarkan kembali ajarannya.
Ibn Sab’in meninggalkan karya sebanyak 41 buah, yang menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun praktis. Sebagian risalahnya telah disunting Abdurrahman Badawi dengan judul Rasa’il Ibn Sab’in(1965 M), Jawab shahih Shiqilliyah, telah disunting oleh Syaripuddin Yaltaqiya.
Adapun ajaran-ajaran Tasawufnya adalah :
a.         Kesatuan mutlak
Ibn Sab’in adalah seorang penggagas sebuah faham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan faham kesatuan mutlak. Disebut paham kesatuan mutlak karena paham ini berbeda dari paham-paham tasawuf  yang memberi ruang lingkup pada pendapat-pendapat tentang hal yang mungkin dalam suatu bentuk.
Dalam paham ini Ibn Sab’in menempatkan keTuhanan pada tempat pertama. Wujud allah, menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukkan pada wujud mutlak yang rohaniyah. Ibn Sab’in terkadang menyerupakan wujud dengan lingkaran, porosnya adalah wujud yang mutlak, sementara wujud yang nisbi alias sempit berada dalam lingkaran.
b.      Penolakan terhadap logika Aristotelian
Pahamnya tentang kesatuan mutlak, telah membuatnya menolak logika Aristotelian. Oleh karenanya, dalam karyanya BuddAl-Arif, ia berusaha menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif, sebagai pengganti logika yang berdasarkan pada konsepsi jamak.
Diantara kesimpulan-kesimpulan penting Ibn Sab’in dengan logikanya adalah realitas-realitas logika itu alamiah adanya dalam jiwa manusia, dan keenam kata logika ( genus, species, difference, proper, sccident, person) yang memberi kesan adanya wujud yang jamak, hanya sekedar ilusi semata. Ibn Sab’in juga mengembangkan pahamnya tentang kesatuan mutlak ke berbagai bidang bahasaan filosofis. Misalnya, menurutnya jiwa dan akal budi  tidak mempunyai wujudnya sendiri. Dan moral menurutnya  di tandai corak kesatuan mutlak.
3.      Al-Jili
Nama lengkapnya adalah abdul karim bin Ibrahim Al Jilli. Lahir pada tahun 1365 M, di jillan (Gilan) wafat pada tahun 1417 M. ia adalah seorang sufi terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah. Tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke india tahin 1378 M. lalu belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani. Di samping itu, berguru pula pada Syeh Syarif Isma’il Bin Ibrahim  Al-Zabarti di Zabid (Yaman) tahun1393-1403 M.
Adapun ajaran-ajaran tasawufnya adalah sebagai berikut:
a.      Insan kamil
Ajaran tasawuf yang terpentingnya adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurutnya, insane kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti yang disebutkan dalam hadis yang artinya:
“Alllah menciptakan adam dalam bentuk yang Maha Rahman.”
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya merupakan milik insane kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya.  Lebih lanjut al-jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insane kamil bagaikan cermin. Insane kamil tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insane kamil.
Kemudian al-jilli berkata bahwa duplikasi al-kamal (kesempurnaan)pada dasarnya dimiliki oleh semua manusia. Intensitas al-kamal yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW.  Manusia lain, baik nabi ataupun wali bila dibandingkan dengan nabi Muhammad bagaikan al-kamil(yang sempurna) dengan al-akmal(yang paling sempurna) atau al-fadil(yang utama) dengan al-afdhal(yang paling utama).
b.      Maqamat (Al-Martabah)
Berhubungan dengan insan kamil, Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus di lalui seorang sufi. Dalam istilahnya, maqam itu disebut Al-Martabah (jenjang/tingkatan), di antaranya adalah :
1.      Islam                                       5.         Qurbah
2.      Iman                                        6.         Shiddiqiyah
3.      Ash-shalah                              7.         Syahadah
4.      Ihsan                          
4.      Ibn Masarah
Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Abdullah Bin Masarrah (269-319 H. ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filosof dari Andalusia. Ia memberiikan pengaruh yang besar  terhadap madzhab Al-Mariyyah. Bersamaan dengan ibn masarrah, di Andalusia telah muncul tasawuf filosofi. Ia lebih banyak disebut-sebut  sebagai filosof dari pada sufi.  Pada mulanya ia merupakan penganut sejati aliran mu’tazilah, lalu berpalingpada mazhab neoplatonisme. Oleh karena itu, ia di anggap mencoba menghidupkan kembali filsafat yunani kuno.
Di antara ajaran-ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut:
1.    Jalan menuju keselamatan jiwa adalah menyucikan jiwa,  zuhud dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
Di antara pemikiran ibn masarrah adalah bahwa jalan keselamatan adalah penyucian diri, kezuhudan, tindakan mempriotaskan akal atas panca indera dan berusaha kembali kepada cinta merupakan pokok utama kehadiran manusia di alam semesta. Sebab, dengan cara itu, berbagai unsure kejadiannya akan bersatu satu sama lainnya, sehingga terbentuklah suatu kesatuan(al-wahdah) atau seluruh maujud akan berkumpul dalam kecintaan, kebencian, kasih saying, dan keterpaksaan seperti asalnya.
2.      Penakwilan ala phylum atau aliran ismailiyyah terhadap ayat-ayat al-qur’an
Di antara pemikiran yang di anggap ciri khas ibn masarrah adalah berpegang teguh pada prinsip penakwilan (ta’wil) sejalan dengan pemikiran philon  iskandar atau sekte ismailiyyah. Ibn masarrah sangat banyak melakukan penakwilan atas ayat-ayat al-qur’an dengan corak penakwilan sekte kebatinan. Ia menolak kebangkitan jasmani di akhirat, menafikan pengetahuan Allah SWT tentang hal-hal particular kecuali bila sudah terjadi.










BAB III
KESIMPULAN



















DAFTAR PUSTAKA
http://makalahtasawuffalsafi.blogspot.com/2012/12/makalah-tasawuf-falsafi.html




No comments:

Post a Comment