PEMIKIRAN ZAINUDDIN LABAY
PERMASALAHAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan
suatu hal yang sangat integral dan dinamis sekali bagi kehidupan individual
maupun masyarakat. Karena hal itu, maka sudah seharusnya bila pendidikan itu
ditingkatkan kwalitasnya. Dunia pendidikan dari tahun ke tahun menunujukkan
fenomena yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan peran pemikiran para tokoh
cendekiawan yang selalu memperbaiki system atau aspek-aspek dalam dunia
pendidikan yang tidak terbatas pada sektor-sektor penyelenggarannya, melainkan
juga menyangkut berbagai komponen atau aspek baik aspek ekonomi, politik,
sosial, dan demografi.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar
belakang di atas, maka timbul beberapa permasalahan yang akan penulis bahas
yaitu:
1. Bagaimana Biografi Zainuddin Labay?
2. Bagaimana pemikiran filsafat
pendidikan Islam Zainuddin Labay?
C. Tujuan Penulisan
Bertolak dari rumusan
masalah di atas, maka tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana Biografi Zainuddin Labay.
2. Bagaimana pemikiran filsafat pendidikan
Islam Zainuddin Labay.
BAB II
PEMIKIRAN ZAINUDDIN
LABAY
A. Biografi Zainuddin Labay
Zainuddin Labay
el-Yunusi, lahir di sebuah “rumah gadang” (rumah adat lima ruang) yang terletak
di jalan menuju Lubuk Mata Kucing Kenagarian Bukit Surungan, Padang Panjang
tahun 1890 M atau bertepatan dengan tanggal 12 Rajab 1308 H. Ia lahir dari
pasangan Syeikh Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafi’ah. Ayahnya Syekh
Muhammad Yunus al-Khalidiyah adalah seorang ulama terkenal dan memegang jabatan
sebagai qadhi di daerah Pandai Sikek.
Kakeknya bernama
Imaduddin, juga seorang ulama terkenal, pemimpin aliran tarikat Naqsyabandiyah
dan ahli ilmu falak (hisab) di daerahnya. Bila ditelusuri lebih jauh silsilah
keturunannya dari pihak ayah, maka akan diperoleh suatu gambaran bahwa ia
mempunyai hubungan pertalian darah dengan Haji Miskin salah seorang tokoh
“harimau nan salapan” dalam gerakan Paderi. Ibunya bernama Rafi’ah, juga
seorang wanita yang taat beragama. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal
pada sekolah tertentu, karena waktu itu jenjang pendidikan formal masih
tertutup bagi anak perempuan, khusunya di Minangkabau. Akan tetapi ia bisa
membaca al-Quran, membaca dan menulis huruf Arab. Ada kemungkinan ini berkat
bimbingan kakaknya Kudi Urai, yang sangat menyangi dan memanjakannya. Silsilah
keturunan Zainuddin Labay dari pihak ibu berasal dari nagari IV Angkat Candung
Agam.
Tidak diketahui secara
pasti siapa kakek dan buyutnya di pihak ibu. Namun dari data yang diperoleh
ternyata bahwa ibunya berasal dari keluarga yang taat beragama juga. Sebab,
daerah IV Angkat Candung merupakan daerah tempat lahirnya ulama-ulama besar
Minangkabau seperti, Ahmad Khatib, Syeik Sulaiman Arrasuli, dan lain-lain.
Perjalanan hidup Ibu Zainuddin Labay, Rafi’ah, selanjutnya diurusi oleh saudara
kandungnya, Kudi Urai. Kudi Urai inilah yang mengasuhnya hingga dewasa dan
mencarikan pasangan hidup, menginginkan agar adiknya Rafi’ah tersebut kawin
dengan ulama, atau setidak-tidaknya
dengan orang yang taat menjalankan agamanya. Keinginan
Kudi Urai (setelah menunaikan ibadah haji namanya diganti dengan Hajjah
Khadijah), akhirnya terpenuhi ketika pilihannya jatuh kepada seorang ulama dari
Pandai Sikat yakni Muhammad Yunus al-Khalidi, sekalipun hati kecil Rafi’ah
enggan menerimanya disebabkan Muhammad Yunus telah mempunyai isteri enam orang.
Perkawinan Rafi’ah dengan Syeikh Muhammad Yunus adalah perkawinan yang agak
unik. Dikatakan demikian karena ada beberapa alasan. Pertama, jarak umur antara
Rafi’ah dengan Muhammad Yunus sangat jauh berbeda. Rafi’ah baru berumur 16
tahun, sedangkan Muhammad Yunus berusia 42 tahun. Kedua, salah satu fenomena
yang berkembang pada awal abad kedua puluh adalah adanya tradisi ulama atau
tokoh agama beristeri lebih dari satu orang. Seorang ulama yang beristeri lebih
dari satu orang mampunyai kedudukan terhormat di dalam masyarakat. Ketokohan
dan keahlian seseorang dalam ilmu agama menjadi salah satu faktor bagi
masyarakat lain untuk mengawinkan anaknya dengan seorang ulama, sekalipun ulama
itu telah mempunyai isteri sebelumnya. Ada semacam berkah yang akan diperoleh
bila seseorang kawin dengan tokoh agama.
Syeikh Muhammad Yunus
sebagai seorang ulama juga mengalami hal serupa. Sebelum kawin dengan Rafi’ah,
Syeikh Muhammad Yunus telah enam kali kawin dan mempunyai beberapa orang anak,
Rafi’ah akan dijadikan sebagai isteri ketujuh. Sebagai seorang perempuan, ia
tidak mau hidup di madu. Dalam konteks yang lebih jauh, ia takut nanti dianggap
mengambil isteri orang.
Berdasarkan kepada
hal-hal tersebut sebetulnya Rafi’ah, merasa enggan dikawinkan dengan orang yang
sudah kawin berkali-kali, namun berkat bimbingan kakaknya, Hajjah Khadijah,
yang telah berjasa memelihara dan membesarkannya, Rafi’ah tidak berani menolak
keinginan kakanya tersebut agar ia kawin dengan Muhammad Yunus. Ada setitik
harapan keluarga yang tertumpang dari perkawinan Rafi’ah dengan Muhammad Yunus
ini, yaitu agar nanti dapat melahirkan keturunan yang baik-baik, alim, cerdas
dan taqwa kepada Allah SWT.
Buah perkawinan
Rafi’ah dengan Syeikh Muhammad Yunus, lahir lima orang putera dan puteri. Dua
di antaranya muncul sebagai tokoh paling berpengaruh dalam gerakan pembaharuan
pendidikan Islam di Minangkabau, masing-masing Zainuddin Labay el-Yunusi dan
rahmah el-Yunusiyah. Zainuddin Labay adalah anak tertua, sedangkan Rahmah
adalah anak paling bungsu dari lima bersaudara tersebut. Keduanya telah
mengukir riwayat hidupnya sendiri-sendiri dalam lembaran sejarah tanah air
tercinta ini dengan perjuangan dalam bidang pendidikan Islam. Lima orang putra
dan putri yang lahir dari hasil perkawinan antara Syeikh Muhammad Yunus dan
Rafi’ah adalah:
1. Zainuddin Labay (1890-10 Juli 1924
M/1308-1342 H)
2. Mariah (1893-7 Januari 1972 M/1311-1391 H)
3. Muhammad Rasyad (1895-Februari 1956
M/1313-1375 H)
4. Riahanah (1898-8 Desember 1968 M/1316-1388
H)
5. Rahmah (1900-26 Februari 1969 M/1318-1388
H)
B. Pemikiran Zainuddin
Labay
Perkawinan Zainuddin
dengan Sawiyah, ternyata tidak berlangsung lama dan berakhir dengan perceraian.
Di satu sisi, sebagai seorang yang masih berusia muda, Zainuddin Labay tidak
ingin kehidupan rumah tangganya berakhir hanya karena perceraian dengan isteri
pertamanya. Untuk dapat meringankan beban pikiran dan memotivasi dirinya dalam
mewujudkan cita-citanya yang luhur, ia tetap memerlukan seorang pendamping
hidup yang setia. Di sisi lain terlihat kesan bahwa tradisi ulama dan tokoh
agama beristeri lebih dari satu orang masih tetap berkembang di dalam
masyarakat. Untuk itu Zainuddin menikah lagi dengan seorang gadis dari desa
Jambu, Gunung - Padang Panjang, bernama Djaliah. Namun sampai akhir hayatnya,
Zainuddin tidak memperoleh anak dengan isterinya yang kedua ini. Cita-cita
Zainuddin dilanjutkan oleh adiknya Rahmah el-Yunusiyah.
Latar belakang
keluarga, dalam perjalanan karir seorang Zainuddin Labay, sebagaimana di atas,
menurut hemat penulis, sangat mempengaruhi keberhasilannya menggapai cita-cita
pembaharuan. Suatu fakta yang sulit dibantah adalah pada umumnya mereka yang
tampil sebagai ulama dan tokoh agama adalah mereka berasal dari keturunan ulama
dan keluarga taat beragama. Beberapa orang di antaranya dapat disebut seperti
Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syeikh Abdul Karim Amrullah, Syeikh
Abdullah Ahmad, Zainuddin Labay, Rahmah el-Yunusi, dan lain-lain. Mereka
berasal dari keturunan ulama dan keluarga yang taat menjalankan ajaran agama. Berangkat
dari kenyataan ini dapat dikatakan, mereka yang berasal dari keturunan ulama
lebih sering mendapat pengajaran berupa penanaman nilai-nilai yang harus
dijadikan pedoman di dalam hidup baik ketika ia belajar agama di surau ayahnya
maupun ketika mereka berada di lingkungan keluarga, ketimbang mereka yang
berasal dari keluarga biasa. Oleh karenanya tradisi ulama beristeri lebih dari
satu berkembang pesat. Kharisma ulama semakin tinggi. Setiap orang tua selalu
berkeinginan mengawinkan anak gadis mereka dengan seorang ulama, walaupun ulama
itu telah beristeri sebelumnya. Karena diharapkan dari perkawinan itu akan
lahir generasi-generasi alim, cerdas dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Pada dasarnya
keberhasilan Zainuddin Labay mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam moderen
sangat erat kaitannya dengan pengalamannya semenjak ia mulai menjadi guru bantu
di surau Syeikh Abbas Abdullah, di Padang Japang dan Syeikh Abdul Karim
Amrullah di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, merupakan modal dasar baginya
untuk memulai sebuah gagasan baru dalam dunia pendidikan dan pengajaran agama
Islam. Sebagai seorang yang berpikiran moderen dan maju, di samping berkarya
melalui media pers, ia sangat berkeinginan mewujudkan cita-citanya untuk
merubah sistem pendidikan Islam. Kondisi pendidikan umat Islam jauh tertinggal
dibanding dengan pendidikan pemerintah Belanda. Ia menginginkan perubahan
sistem pendidikan Islam yang selama ini diselenggarakan dengan cara tradisional
dan sudah ketinggalan zaman. Duduk di lantai melingkar diganti dengan meja dan
kursi; guru dan murid sama-sama duduk di kursi. Guru hendaknya berada di depan
murid-murid, jangan berkeliling sambil bersandar di tiang masjid. Media belajar
sebaiknya digunakan papan tulis dan kapur tulis dan harus ada rencana pelajaran
yang teratur. Pakaian sekolah murid-murid harus diatur sedemikian rupa dan
mereka tidak boleh berpakaian seenaknya. Untuk menentukan kehadiran
murid-murid, harus ada absen dan jika suatu ketika seorang murid tidak bisa
hadir di sekolah harus ada surat keterangan (sakit, izin dan lain-lainnya).
Untuk menilai kemampuan murid-murid menyerap pelajaran yang diberikan, harus
ada evaluasi akhir dan setiap akhir tahun harus ada kenaikan tingkat (kelas).
Cita-cita itu menjadi
spirit di dalam jiwanya dan pada setiap kesempatan mengajar di surau Jembatan
Besi, ia selalu mengemukakan keinginannya itu kepada murid-muridnya. Ia melihat
di mana-mana belum ada sekolah agama seperti apa yang ia cita-citakan itu. Pola
dan sistem pengajaran di surau dirasakan tidak berkembang. Setelah cita-cita
besar ini dirasakan sudah mantap dan telah mendapat dukungan dari sebahagian
murid-murid surau Jembatan Besi, maka pada tanggal 10 Oktober 1915, Zainuddin
Labay mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam baru yang diberi nama Diniyah
School, dengan sistem berkelas. Sekolah ini menerima murid-murid laki-laki dan
perempuan, diajar dalam kelas yang sama dalam waktu yang sama serta dengan guru
yang sama. Pola semacam ini dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah
“ko-edukasi”.
Obsesi besar yang
dicanangkan Zainuddin Labay dalam dunia pendidikan Islam, ternyata telah
memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan sistem pendidikan
Islam. Sistem pendidikan yang dibangunnya tidak hanya memberikan sumbangan bagi
penataan aspek kelembagaan dan aspek kurikulum saja, akan tetapi juga mampu
melahirkan generasi dan kader-kader berkualitas dan memiliki reputasi baik
dalam lapangan pendidikan maupun dalam bidang-bidang lain. Beberapa orang di
antaranya dapat disebut antara lain, seperti Rahmah el-Yunusiyah (adik kandung
Zainuddin Labay dan pendiri Diniyah Putri).Kiprahnya dalam bidang pendidikan
Islam masih bisa dilihat sampai sekarang. Lembaga pendidikan yang didirikannya
tetap diminati masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai ke
negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura. Atas jasanya dalam pengembangan
pendidikan Islam, pada tahun 1956, rektor universitas al-Azhar, Kairo
menganugerahkan gelar “Syaikhah” kepadanya. Pemerintah Indonesia sampai saat
ini belum memberikan penghargaan sebagai pahlawan nasional dalam bidang
pendidikan Islam walaupun usulan untuk itu sudah lama dilakukan.
Pada tanggal 10
Oktober 1915 Zainuddin Labay mendirikan Diniyah School di Padang Panjang. Di
sinilah Zainuddin Labay mencoba segala teorinya untuk kemajuan murid-muridnya.
Zainuddin Labay mengatur Diniyah School dengan sebaik-baiknya. Pada tingkat
bawah pelajaran diberikan dalam bahasa Indonesia dan memakai buku-buku bahasa
Indonesia karangan sendiri.
Inovasi yang muncul
dan langkah-langkah yang diambilnya dalam mendirikan surat kabar dipraktikkan
ke dalam pendidikan. Zainuddin Labay banyak menulis buku-buku tentang
pendidikan, di antaranya: Durusul Fiqhiyyah, Aqaidud Diniyah, Mabadi awwaliyah.
Pendeknya kitab-kitab yang dipakai pada tingkat ibtidaiyah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada tanggal 10
Oktober 1915 Zainuddin Labay mendirikan Diniyah School di Padang Panjang. Di
sinilah Zainuddin Labay mencoba segala teorinya untuk kemajuan murid-muridnya.
Zainuddin Labay mengatur Diniyah School dengan sebaik-baiknya. Pada tingkat
bawah pelajaran diberikan dalam bahasa Indonesia dan memakai buku-buku bahasa
Indonesia karangan sendiri.
Inovasi yang muncul
dan langkah-langkah yang diambilnya dalam mendirikan surat kabar dipraktikkan
ke dalam pendidikan. Zainuddin Labay banyak menulis buku-buku tentang
pendidikan, di antaranya: Durusul Fiqhiyyah, Aqaidud Diniyah, Mabadi awwaliyah.
Pendeknya kitab-kitab yang dipakai pada tingkat ibtidaiyah.
B. Saran
Demikian makalah ini,
semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang pemikiran Zainuddin Labay.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ramayulis, (2006), Metodologi
Pembelajaran Agama Islam, Padang: Kalam Mulia.
2.
Ahmad Tafsir, (2004), Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.
3.
Fathiyah Hasan Sulaiman, (2004), Madzahibu
fi Al Tarbiyah, Bahtsun fi Al Madzahibi Al Tarbawi ‘inda Al Ghazali, Al
Qahirah : Maktabah Nahdah.
4.
http://yuyutwahyudi.blogspot.com/2010/07/ragam-pemikiran-filsafat-pendidikan.html, diakses tanggal 6 Mei
2011.
5.
http://chesalamo.blogspot.com/2011/01/zainuddin-labay-el-yunusi.html?zx=bbf5fe35bb39631d, diakses tanggal
8 Mei 2011.
No comments:
Post a Comment