Friday 19 December 2014

makalah KAPITA SELEKTA Profesionalisme

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Dalam dunia keilmuan islam, pendidikan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia, karena dengan pendidikanlah manusia akan bisa eksis dan berjaya di muka bumi ini. Melalui tindakan-tindakan guru, nasib pendidikan kita bergantung kepadanya. Sementara itu, diketahui bahwa dewasa ini tugas guru semakin berat. Hal ini terjadi antara lain karena kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta perubahan cara pendang dan pola hidup masyarakat yang menghendaki strategi pendekatan dalam proses belajar mengajar yang berbeda-beda, disamping materi pengajaran itu sendiri. Dengan keadaan perkembangan masyarakat yang sedemikian itu, maka mendidik merupakan tugas berat dan memerlukan seseorang yang cukup memiliki kemampuan yang sesuai dengan jabatan tersebut. Mendidik adalah pekerjaan profesional yang tidak dapat diserahkan kepada sembarang orang, karena hal ini akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dalam kehidupannya, begitu juga terhadap lembaga pendidikan di mana ia mengabdikan dirinya untuk profesi yang diembannya. Untuk mewujudkan profesionalisme dalam pribadi seseorang guru tidaklah mudah, karena hal tersebut memerlukan proses yang cukup panjang dan biaya yang cukup banyak. Disamping itu, diperlukan pula penyadaran akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai cita-cita dari masyarakat terhadap hasil pembelajarannya yang dilakukan bersama muridnya dapat tercapai, sehingga tercipta kualitas dan mutu out put yang bisa dipertanggung jawabkan secara intelektual, memiliki keterampilan yang tinggi dan memiliki akhlaqul karimah yang mapan.[1]
B.  Rumusan Masalah

1.        Bagaimana pengertian profesionalisme menurut para ahli?
2.        Bagaimanakah pandangan islam tentang profesionalisme?
3.        Bagaimana profesionalisme dalam pendidikan madrasah di era saat ini?
4.        Bagaimanakah cara menerapkan profesionalisme dalam madrasah?

C.  Tujuan Penulisan Makalah
Pada makalah ini kami akan  membahas profesionalisme  dalam pengelolaan madrasah sehingga dapat mendorong madrasah – madrasah agar bisa lebih professional  dalam melakukan proses manajemen sekolah yang mengarah pada peningkatan mutu madrasah.




 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Profesionalisme
Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya riwayat, pekerjaan, pekerjaan tetap, pencaharian, pekerjaan yang merupakan sumber penghidupan. Menurut bahasa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejujuran, dsb.) sedang menurut istilah bahwa profesi adalah merupakan seorang yang menampilkan suatu tugas yang mempunyai tingkat kesulitan dan mempersyaratkan waktu persiapan dan pendidikan cukup lama untuk menghasilkan pencapaian pendidikan kemampuan ketrampilan dan pengetahuan berkadar tinggi.
Profesionalisme menurut Ahmad Tafsir (2004) adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang yang profesional ialah orang yang memiliki profesi.[2]
Istilah profesionalisme berasal dari profesion. Profession mengandung arti yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Dengan kata lain, profesi dapat diartikan sebagai suatu bidang keahlian yang khusus untuk menangani lapangan kerja tertentu yang membutuhkannya. Profesionalisme berarti suatu pandangan bahwa suatu keahliaan tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus.[3] Selanjutnya istilah profesionalisme memang juga merupakan bentuk kata kerja dari kata benda profesi (profesion), hanya saja berikut maknanya selama ini jarang dikemukakan, terutama pada saat di Indonesia masih banyak orang yang berpendapat bahwa ilmu itu bebas nilai (seperti keyakinan yang pernah dianut orang barat). Oleh karena itu, profesi adalah jabatan atau pekerjaan yang diakibatkan oleh penguasaan suatu ilmu bebas nilai yang mengandung makna seolah-olah seorang profesional tidak bertanggung jawab atas penggunaan hasil kerjanya karena hal itu menjadi tanggung jawab dan resiko pemesannya. Hal itu juga ternyata merupakan pendapat usang, bahkan tidak berlaku lagi.[4]
Sedangkan profesionalisme adalah proses usaha menuju ke arah terpenuhinya persyaratan suatu jenis model pekerjaan ideal berkemampuan, mendapat perlindungan, memiliki kode etik profesionalisasi, serta upaya perubahan struktur jabatan sehingga dapat direfleksikan model profesional sebagai jabatan elit. Sedangkan profesi itu sendiri pada hakekatnya adalah sikap bijaksana (informed responsiveness) yaitu pelayanan dan pengabdian yang dilandasi oleh keahlian, kemauan, teknik dan prosedur yang mantap diiringi sikap kepribadian tertentu.[5]
B.  Pandangan Islam tentang Profesionalisme
Pekerjaan (profesi adalah pekerjaan) menurut islam harus dilakukan karena Allah. “Karena Allah” maksudnya adalah karena diperintahkan Allah. Jadi, profesi dalam islam harus dijalani karena merasa bahwa itu adalah perintah Allah. Dalam kenyataannya pekerjaan itu dilakukan untuk orang lain, tetapi niat yang mendasarinya adalah perintah Allah. Dari sini kita mengetahui bahwa pekerjaaan profesi di dalam islam dilakukan untuk atau sebagai pengabdian kepada dua objek, yaitu: pengabdian kepada Allah dan sebagai pengabdian atau dedikasi kepada manusia atau kepada yang lain sebagai objek pekerjaaan itu. Jelas pula bahwa kriteria “pengabdian” dalam islam lebih kuat dan lebih mendalam dibandingkan dengan pengabdian dalam kriteria yang diajarkan diatas tadi. Pengabdian dalam islam, selain demi kemanusiaan, juga dikerjakan demi Tuhan, jadi unsur transenden ini dapat menjadikan pengalaman profesi dalam islam lebih tinggi nilai pengabdiannya dibandingkan dengan pengalaman profesi yang tidak didasari oleh keyakian iman kepada Tuhan. Dalam islam, setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional, dalam arti harus dilakukan secara benar. Itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang ahli. Rasulullah SAW, mengatakan bahwa: “ bila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang tidak ahli, maka tunggulah kehancuran”. “Kehancuran” dalam hadits ini dapat diartikan secara terbatas dan dapat diartikan secara luas. Bila seorang guru mengajar tidak dengan keahlian, maka yang “hancur” adalah muridnya. Ini dalam pengertian yang terbatas. Murid-murid itu kelak mempunyai murid lagi dan murid-murid itu kelak berkarya, kedua-duanya dilakukan dengan tidak benar (karena telah dididik tidak benar), maka akan timbullah “kehancuran”. Kehancuran apa? Ya, kehancuran orang-orang yaitu murid-murid itu, dan kehancuran sistem ini kebenaran karena mereka mengajarkan pengetahuan yang dapat saja tidak benar. Ini kehancuran dalam arti luas. Maka benarlah apa yang diajarkan Nabi: Setiap pekerjaan (urusan) harus dilakukan oleh orang yang ahli. “Karena Allah” saja tidaklah cukup untuk melakukan suatu pekerjaan. Yang mencukupi ialah “karena Allah” dan “keahlian”.[6]
C. Profesionalisme dalam Pengelolaan Madrasah
Dalam Islam, setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional. Dalam arti harus dilakukan dengan benar. Itu hanya bisa dilakukan oleh orang ahli. Penerapan paham profesionalisme ini akan menghasilkan efek yang positif.
Ø  Pertama, dengan meningkatkan profesionalisme akan mendapatkan pendidikan yang lebih bermutu. Penigkatan itu akan dinikmati oleh masyarakat dan pada gilirannya mutu masyarakat muslim juga akan meningkat.
Ø  Kedua, karena mutu yang baik maka peminat memasuki lembaga pendidikan itu juga akan meningkat. Mahasiswa atau murid akan meningkat jumlahnya.
Ø  Ketiga, dari mahasiswa atau murid yang banyak itu akan masuk uang yang lebih banyak. Dari uang yang banyak itu  dapat menggunakannya sebagian untuk lebih meningkatkan mutu. [7]
Penerapan profesionalisme akan menimbulkan suatu sinergi kearah lebih baik. Sinergi ini perlu dipahami karena selama ini seringkali pengelola sekolah bingung dari mana harus dimulai untuk meningkatkan mutu pendidikan.
D. Idealisasi Pengelolaan di Madrasah
Perbedaan sekolah dan madrasah dapat dilihat dari tiga pendekatan, pertama,secara simbolik, kedua, secara substansial dan yang ketiga, secara institusional.Dengan pendekatan simbolik maka kita akan membedakan antara sekolah dengan madrasah dengan symbol-simbol. Misalnya mata pelajaran PAI di madrasah dibagi ke dalam sub-sub mata pelajaran seperti fiqh, Al Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab sedangkan untuk sekolah umum/non madrasah PAI digabung menjadi satu dan porsinya hanya 2 jam/minggu. Di madrasah para siswanya memakai jilbab dan siswa puteranya memakai celana panjang,sedangkan pada sekolah non madrasah para siswa puterinya tidak harus berjilbab, dan sebagainya.
Secara substansial, perbedaan madrasah dan sekolah umum adalah bahwa madrasah merupakan sekolah umum berciri khas agama Islam. Ciri khas ini berbentuk : 1) mata pelajaran-mata pelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan agama Islam, yaitu Al Qur’an-Al Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab, 2) suasana keagamaan, yang berupa suasana kehidupan madrasah yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan metode pendekatan yang agamis dalam penyajian bahan pelajaran bagi setiap mata pelajaran yang memungkinkan, dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan berakhlak mulia, disamping memenuhi kualifikasi sebagai tenaga pengajar berdasar ketentuan yang berlaku.
Dalam kaitannya dengan ini, pemerintah telah memberikan beberapa standar pengelolaan secara umum tentang pengelolaan pendidikan oleh satuan pendidikan khususnya madrasah dengan mengacu pada PP nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Dibawah ini penulis rumuskan standar pengelolaan pendidikan di madrasah dengan mengacu pada PP nomor 19 tahun 2005:
a.       Setiap satuan pendidikan dipimpin oleh seorang kepala satuan pendidikan yang menjadi penanggungjawab terhadap pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan yang dipimpinnya. Kepala satuan pendidikan ini dibantu minimal satu orang wakil kepala satuan pendidikan untuk satuan pendidikan SMP/MTs/SMP LB sederajat dan minimal tiga orang wakil kepala satuan pendidikan untuk satuan pendidikan SMA/MA/SMA LB, SMK/MAK. Ketiga wakil kepala satuan pendidikan ini membidangi akademik, sarana prasarana, dan kesiswaan. Dari kebijakan tersebut maka pengelolaan pendidikan di madrasah dibawah tanggungjawab Kepala Madrasah yang dibantu oleh minimal seorang wakil kepala madrasah untuk jenjang pendidikan MTs dan minimal tiga wakil kepala madrasah yang meliputi wakil kepala madrasah bidang akademik, wakil kepala madrasah bidang sarana prasarana dan wakil kepala madrasah bidang kesiswaan untuk jenjang pendidikan Madrasah Aliyah. (pasal 50)
b.      Pengambilan keputusan pada satuan pendidikan dasar dan menengah dalam bidang akademik diputuskan melalui rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh kepala satuan pendidikan.Sedangkan pengambilan keputusan dalam bidang nonakademik dilakukan oleh komite sekolah dengan dihadiri kepala satuan pendidikan. (pasal 51)
c.       Satuan pendidikan khususnya madrasah harus memiliki pedoman yang mengatur tentang :
Ø  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Silabus
Ø   Kalender Pendidikan/Akademik yang menunjukkan seluruh kategori aktivitas satuan pendidikan selama satu tahun dan dirinci secara semesteran, bulanan dan mingguan.
Ø  Struktur organisasi satuan pendidikan
Ø  Pembagian tugas diantara pendidik
Ø  Pembagian tugas diantara tenaga kependidikan
Ø  Peraturan akademik
Ø  Tata tertib satuan pendidik yang minimal meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, serta penggunaan dan pemeliharan sarana  dan prasarana
d.      Pengelolaan pendidikan di madrasah didasarkan pada rencana kerja tahunan yang merupakan penjabaran secara rinci rencana kerja jangka menengah madrasah yang meliputi masa 4 tahun.(Pasal 53)
e.       Madrasah harus menyusun rencana kerja yang disetujui oleh dewan guru dengan memperhatikan pertimbangan komite madrasah. Rencana kerja tahunan madrasah meliputi:
v  Kalender pendidikan/akademik yang meliputi jadwal pembelajaran, ulangan, ujian, kegiatan ekstrakurikuler dan hari libur
v   Jadwal penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk tahun berikutnya
v  Mata pelajaran yang ditawarkan di semester genap dan semester ganjil
v  Penugasan pendidik pada mata pelajaran dan kegiatan lainnya
v  Buku teks pelajaran yang dipakai pada masing-masing mata pelajaran
v  Jadwal penggunaan dan pemeliharaan sarana prasarana pembelajaran
v  Pengadaan, penggunaan, dan persediaan minimal bahan habis pakai
v  Program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan yang meliputi sekurang-kurangnya jenis, durasi, peserta, dan penyelenggaraan program
v  Jadwal rapat dewan pendidik, rapat komite, rapat konsultasi satuan pendidikan dengan orang tua/wali peserta didik, dan rapat satuan pendidikan dengan sekolah/madrasah
v  Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Madrasah untuk masa kerja satu tahun
v  Jadwal penyusunan laporan akuntabilitas dan kinerja madrasah untuk satu tahun terakhir. (pasal 53)

E.  Problematika Pengelolaan Pendidikan Madrasah
Beberapa problematika yang terjadi di Praktek manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior.
1.               Tidak optimalnya peran serta pengelola madrasah dalam menjalankan prinsip-prinsip manajemen dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, pengambilan keputusan, pelaksanaan kurikulum dan aktivitas kurikuler lainnya. 
2.                Pola kepemimpinan sebagai bagian dari manjemen pengelolaan madrasah masih bersifat sentralistik, dimana kebanyakan kepala madrasah masih dominan dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan.

F.   Cara Menerapkan Profesionalisme dalam Madrasah
Tidak ada orang yang menghendaki sekolah-sekolah mutunya rendah. Untuk menerapkan profesionalisme dalam pengelolaan pendidikan agaknya dapat diikuti sekurang-kurangnya dipertimbangkan pikiran berikut ini:
Ø  Pertama, adanya profesionalisme pada tingkatan yayasan. Biasanya sekolah berada di bawah pengelolaan dan tanggung jawab yayasan. Yayasan tidak hanya mengurus sekolah, kadang-kadang yayasan juga membuat kegiatan lain, yaitu sebuah yayasan mengurus rumah sakit, rumah anak-anak yatim, koperasi sekolah, dan lain-lain. Dalam hal ini, pengurus yayasan cukup memenuhi syarat satu saja yaitu rasa pengabdian yang besar kepada masyarakat. Oleh karena itu, ia senang berbuat untuk masyarakat. Dalam hal seperti ini maka yayasan harus menugaskan seseorang yang profesional untuk setiap bidang garapan. Untuk mengelola sekolah harus ada paling sedikit satu orang yang memiliki profesi pendidikan (tegasnya sekolah) yang duduk pada tingkat yayasan. Orang ini sebaiknya tidak merangkap jabatan sebagai salah seorang seorang pengurus yayasan dan kepala sekolah, cukup mengurusi sekolah saja. Mengapa demikian? Karena ia harus memikirkan perkembangan sekolah, dari suatu sekolah menjadi banyak sekolah. Jadi, pikirannya tidak boleh hanya tertuju pada satu sekolah. Hubungan kerjanya lebih banyak dengan pengurus lengkap yayasan dan dengan masyarakat, sekolah hanya salah satu titik saja dalam pemikirannya dan pemikirannya akan lebih luas, tidak terlibat dalam persoalan-persoalan rutin yang biasanya selalu ada setiap sekolah.
Ø  Kedua, menerapkan profesionalisme pada tingkat pimpinan sekolah. Dalam hal ini yang benar-benar harus diperhatikan oleh pengurus yayasan ialah memilih yayasan kepala sekolah yang benar-benar profesional, dengan keahliannya itu ia dapat meningkatkan mutu tenaga guru. Akan tetapi, bila katakanlah guru-guru profesional, tetapi kepala sekolah tidak profesional, yang akan terjadi adalah bentrokan kebijakan.
Ø  Ketiga, penerapan profesionalisme pada tingkat tenaga pengajar. Ini harus dimulai dalam penerimaan tenaga guru. Kadang-kadang ada yayasan dan kepala sekolah yang berpendapat bahwauntuk sementara terima saja, bila sekolah ini sudah stabil, kita ganti guru yang tidak profesionalisme itu!”  Kebijakan ini yang sangat keliru. Kenyataannya ialah memecat guru tidaklah semudah itu.
Ø  Keempat, profesionalisasi tenaga tata usaha sekolah. Kebutuhan pegawai tata usaha untuk suatu sekolah sesungguhnya tidak banyak. Banyaknya pegawai tata usaha tidak menjamin beresnya tata usaha sekolah yang menjamin adalah tingkat profesionalisme yang tinggi. Apalagi pada zaman sekarang ini tatkala peralatan bantu seperti komputer sudah semakin canggih. Perencanaan ketatausahaan sekolah seluruhnya adalah tugas kepala sekolah, mencakup jumlahnya dan bidang tugasnya. Tidak dibuat teori baku tentang jumlah dan tugas tata usaha sekolah. Ini disebabkan oleh kondisi dan program sekolah tidak sama. Yang dapat diteorikan ialah bahwa tata usaha sekolah harus mampu memberikan pelayanan selengkap-lengkapnya terhadap kepala sekolah, guru, murid, orang tua murid. Maka, tugas tata usaha sekolah adalah melakukan semua tugas yang diperintahkan oleh kepala sekolah, yang mana kepala sekolah harus orang yang profesional.
Hambatan utama untuk menerapkan profesionalisme dalam pengelolaan sekolah ialah kekurangan biaya, demikian pendapat umum di kalangan pengelola sekolah . Oleh karena itu, sekolah banyak yang rendah mutunya. Pendapat ini umum dianut dan kelihatannya banyak sekali orang yang percaya pada pendapat seperti itu.[8]




BAB III
KESIMPULAN

Profesionalisme menurut Ahmad Tafsir (2004) adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Pekerjaan (profesi adalah pekerjaan) menurut islam harus dilakukan karena Allah. “Karena Allah” maksudnya adalah karena diperintahkan Allah. Jadi, profesi dalam islam harus dijalani karena merasa bahwa itu adalah perintah Allah. Dalam Islam, setiap pekarjaan harus dilakukan secara profesional. Dalam arti harus dilakukan dengan benar. Itu hanya bisa dilakukan oleh orang ahli. Penerapan paham profesionalisme ini akan menghasilkan efek yang berganda, yaitu:
1.      Dengan meningkatkan profesionalisme akan mendapatkan pendidikan yang lebih bermutu
2.      Dari mahasiswa atau murid yang banyak itu akan masuk uang yang lebih banyak
3.      Karena mutu yang baik maka peminat memasuki lembaga pendidikan itu juga akan meningkat[9]
Untuk menerapkan profesionalisme dalam pengelolaan pendidikan agaknya  diikuti sekurang-kurangnya dipertimbangkan pikiran berikut ini:
1.    Adanya profesionalisme pada tingkatan yayasan
2.    Menerapkan profesionalisme pada tingkat pimpinan sekolah
3.    Penerapan profesionalisme pada tingkat tenaga pengajar
4.    Profesionalisasi tenaga tata usaha sekolah[10]

DAFTAR PUSTAKA

1.      Suryosubroto, Manajemen Pendidikan di sekolah. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2010
2.      Arifin, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta  : PT. Bumi Aksara. 1992
3.      Adenisa, “Makalah kapita selekta pendidikan islam” dalam  http://adenisa1506.wordpress.com/2013/05/16/makalah-kapita-selekta-pendidikan-islam-2/diakses pada hari jum’at, 4 Oktober 2014
4.      Iim,” Profesionalisme dalam lembaga” dalam http://iim-blog.blogspot.com/2012/01/profesionalisme-dalam-lembaga.html diakses pada hari Jum’at, 4 Oktober 2014
5.      Suroyo Agus, “Pengelolaan pendidikan di marasah”  dalam http://suroyoagus.blogspot.com/2011/12/pengelolaan-pendidikan-di-madrasah.html, diakses pada hari sabtu, tanggal 5 Oktober 214







 
PERTANYAAN
1.      Pak Eko Saputro
Apa saja hal-hal yang dapat mempengaruhi profesionalaisme?
2.      Bu Siti Mirwanah
Bagaimana hubungan profesionalisme dengan guru sertifikasi sekarang? Mengapa lebih banyak anak yang suka les diluar sekolah?
3.      Bu Umi Qoni’ah
Bagaimana cara mempertahankan profesionalisme madrasah?
4.      Bu Marliyah
Bagaimana penerapan profesionalisme masyarakat islam sekarang (halaman 5)?






[1] Adenisa, “Makalah kapita selekta pendidikan islam” dalam  http://adenisa1506.wordpress.com/2013/05/16/makalah-kapita-selekta-pendidikan-islam-2/diakses pada hari jum’at, 4 Oktober 2014
[2] Suroyo Agus, “Pengelolaan pendidikan di marasah”  dalam http://suroyoagus.blogspot.com/2011/12/pengelolaan-pendidikan-di-madrasah.html, diakses pada hari sabtu, tanggal 5 Oktober 214
[3] Suryosubroto, Manajemen Pendidikan di sekolah. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2010
[4] Iim,” Profesionalisme dalam lembaga” dalam http://iim-blog.blogspot.com/2012/01/profesionalisme-dalam-lembaga.html diakses pada hari Jum’at, 4 Oktober 2014
[5]Arifin, Ilmu Pendidikan Islam.( Jakarta  : PT. Bumi Aksara. 1992)
[6] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam.( Jakarta  : PT. Bumi Aksara. 1992)
[7] Adenisa, “Makalah kapita selekta pendidikan islam” dalam  http://adenisa1506.wordpress.com/2013/05/16/makalah-kapita-selekta-pendidikan-islam-2/diakses pada hari jum’at, 4 Oktober 2014
[8] Adenisa, “Makalah kapita selekta pendidikan islam” dalam  http://adenisa1506.wordpress.com/2013/05/16/makalah-kapita-selekta-pendidikan-islam-2/diakses pada hari jum’at, 4 Oktober 2014
[9] Suroyo Agus, “Pengelolaan pendidikan di marasah”  dalam http://suroyoagus.blogspot.com/2011/12/pengelolaan-pendidikan-di-madrasah.html, diakses pada hari sabtu, tanggal 5 Oktober 214
[10] Adenisa, “Makalah kapita selekta pendidikan islam” dalam  http://adenisa1506.wordpress.com/2013/05/16/makalah-kapita-selekta-pendidikan-islam-2/diakses pada hari jum’at, 4 Oktober 2014