BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti
yang kita ketahui bahwa sejak awal diterapkannya sistem madrasah di Indonesia
pada sekitar awal abad ke-20, madrasah telah menampilkan identitasnya sebagai
lembaga pendidikan Islam. Identitas itu tetap dipertahankan meskipun harus
menghadapi berbagai tantangan dan kendala yang tidak kecil, terutama pada masa
penjajahan.
Pada
masa penjajahan Belanda, perkembangan madrasah muncul dari semangat reformasi
yang dilakukan oleh masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang
melatarbelakangi kemunculan madrasah di Indonesia: pertama, adanya pandangan yang
mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa
memenuhi kebutuhan pragmatis
masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan
Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler
di masyarakat.
Pada
masa itu, banyak sekali peraturan-peraturan yang diterapkan oleh pemerintah
kolonial Belanda, yang pada intinya tidak lain adalah untuk mengontrol atau
mengawasi madrasah. Karena pemerintah takut dari lembaga pendidikan tersebut
akan muncul gerakan atau ideologi
perlawanan yang akan mengancam kelestarian penjajahan mereka di bumi Indonesia
ini, dan Dampak dari ketakutan yang berlebihan itu mencapai puncaknya ketika banyak
madrasah yang ditutup karena dianggap melanggar ketentuan yang digariskan oleh
pemerintah kolonial Belanda.
Ketika
Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka tahun 1945, madrasah kembali
bermunculan dengan tetap menyandang identitas sebagai lembaga pendidikan Islam.
Tentunya tidak lepas dari perhatian para pejabat pada saat itu.
Pemerintah RI tidak
kalah perhatiannya terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya, terbukti
juga dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag) pada 3 Januari tahun 1946. Dan
salah satu kebijakan Departemen Agama terhadap madrasah yang cukup mendasar
adalah dibuatnya Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 Menteri, yaitu :
1. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan
2. Menteri
Dalam Negeri, dan
3. Menteri
Agama
Tentang “Peningkatan Mutu pendidikan
pada Madrasah” pada tahun 1975.
Maka
dari itu, dalam makalah ini akan membahas tentang SKB 3 Menteri dengan batasan
masalah meliputi lahirnya, implikasi dan efektifitas dari SKB 3 Menteri ini.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
lahirnya SKB 3 Menteri?
2. Bagaimana
Implikasi dari SKB 3 Menteri?
3. Bagaimana
Efektifitas dari SKB 3 Menteri?
C. Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk
memahami lahirnya SKB 3 menteri
2. Untuk
memahami Implikasi dari SKB 3 Menteri
3. Untuk
memahami Efektifitas dari SKB 3 Menteri
BAB II
PEMBAHASAN
A Lahirnya
SKB 3 Menteri 1975
Pada
tanggal 18 April tahun 1972, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden
No. 34 tahun 1972 tentang “ Tanggung-Jawab Fungsional Pendidikan dan
Latihan.” Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal
1. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan umum dan kejuruan.
2. Menteri
tenaga Kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dan
kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
3. Ketua
Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Dua
tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun
1974 yang mengatur realisasinya. Bagi Departemen Agama yang mengelola
pendidikan Islam, termasuk madrasah, keputusan ini menimbulkan masalah. Padahal
dalam Tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu
unsur mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional. Selain itu, dalam Tap MPRS No. 2
tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah
pengawasan Menteri Agama. Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen Agama
sebagai penyelenggara pendidikan madrasah tidak saja yang bersifat keagamaan
dan umum, tetapi juga yang bersifat kejuruan.
Dengan
Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 itu, penyelenggaran umum
dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan
diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang telah menggunakan
kurikulum nasional kepada kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menarik
untuk dicermati, bahwa kebijakan Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan
Inpres 15/1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan
madrasah dengan pendidikan nasional. Keppes dan Inpres ini juga dipandang oleh
sebagian umat Islam adalah sebagai suatu manuver untuk mengabaikan peran dan
manfaat madrasah, padahal madrasah merupakan wadah utama pendidikan dan pembinaan
umat Islam, sekaligus sebagai lembaga formal umat Islam yang lebih diperhatikan
pemerintah terutama bagi masyarakat pedesaan yang jauh dari pusat pemerintahan,
yang sejak zaman penjajahan diselenggarakan oleh umat Islam.
Ketegangan
ini wajar saja muncul dan dirasakan oleh umat Islam. Betapa tidak, pertama,
sejak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12 tahun 1954, masalah
madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan bahkan tidak disinggung sama
sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya
madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem. Kedua, umat Islam pun
“curiga” bahwa mulai muncul sikap diskriminatif
pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Dan kecurigaan itu pun diperkuat dengan
dikeluarkannya Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974
yang isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan
nasional.
Munculnya
reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru, kemudian pemerintah
mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, yaitu
melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah.
Sejalan
dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, maka pada tanggal 24
Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri
yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri
Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud). SKB ini dapat dipandang sebagai
model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di
sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada
pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. Sejumlah diktum dari
SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah.
B Implikasi
SKB 3 Menteri 1975
Implikasi
SKB 3 Menteri 1975 ini antara lain adalah:
1. Aspek
Lembaga
Madrasah
yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka
peluang bagi kemungkinan siswa-siswa madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada
sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih
mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun
pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama. Dan secara tidak langsung hal
ini memperkuat dan memperkokoh posisi Departemen Agama dalam struktur
pemerintahan, karena telah ada legitimasi politis pengelolaan madrasah.
2. Aspek
Kurikulum
Karena
diakui sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus
sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata
pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efeknya adalah bertambahnya beban yang
harus dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan
umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak,
bagaimanapun juga madrasah harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap
baik.
3. Aspek
Siswa
Dalam SKB 3 Menteri
ditetapkan bahwa:
a.
Ijazah siswa madrasah mempunyai nilai
sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
b. Siswa
madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
c. Lulusan
madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang lebih atas.
d. Aspek
Masyarakat
SKB
3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah
terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan
umat Islam atas dasar semangat pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua
ini karena madrasah adalah wujud riel dari partisipasi masyarakat (communnity
participation) yang peduli pada nasib pendidikan bagi anak bangsanya. Hal ini
terbukti jelas dengan prosentase madrasah yang berstatus swasta jauh lebih
banyak (91%) dibandingkan dengan yang berstatus negeri (9%)
Trend
pengelolaan pendidikan yang semakin menitikberatkan pada peningkatan
partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan menuntut para pengelola
madrasah agar mampu terlepas dari berbagai ketergantungan. Dengan kembali pada
khiththah madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat (community
based education), maka madrasah hanya tinggal maju satu tahap ke depan yakni
memberdayakan partisipasi masyarakat agar lebih efektif dan efisien.
Untuk
menunjang suksesnya pendidikan berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat
sangat besar sekali. Masyarakat sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan
menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat merupakan
sasaran garapan dari dunia pendidikan dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat
berhak mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang
diinginkan oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan,
masyarakat juga bertanggungjawab terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.
Ada
beberapa bentuk peran serta masyarakat dalam menunjang keberhasilan otonomi
dalam bidang pendidikan, antara lain:
1. Pendirian
dan penyelenggaraan satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah dan luar
sekolah.
2. Pengadaan
dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
3. Pengadaan
dan pemberian tenaga ahli (guru tamu, peneliti, dan sebagainya).
4. Pengadaan
/ penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan oleh sekolah.
5. Pengadaan
bantuan dana; wakaf, hibah, pinjaman, beasiswa dan sebagainya.
6. Pengadaan
dan pemberian bantuan ruang, gedung, tanah dan sebagainya.
7. Pemberian
bantuan buku-buku pelajaran.
8. Pemberian
kesempatan untuk magang / latihan kerja.
9. Pemberian
bantuan managemen pendidikan.
10. Bantuan
pemikiran dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pendidikan.
C Efektifitas SKB
3 Menteri 1975
Keputusan
Bersamaa Tiga Menteri tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan
pada madrasah agar tingkat pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang
sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum yang setingkat,
sehingga:
1.
Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai
yang sama dengan ijazah sekolah
umum
yang setingkat.
2. Lulusan
madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.
3.
Siswa madrasah dapat berpindah ke
sekolah umum yang setingkat.
Peningkatan mutu
pendidikan pada madrasah agar tujuan dimaksudkan di atas tercapai meliputi
bidang – bidang :
1. Kurikulum
2.
Buku – buku pelajaran, alat – alat
pendidikan lainnya dan sarana – sarana pendidikan lainnya.
3. Pengajar.
Pembinaan
fungsional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah berdasarkan
SKB Tiga Menteri tersebut dilakukan pembagian tugas pembinaan sebagai berikut:
a. Pengelolaan
madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
b. Pembinaan
pelajaran agama dilakukan oleh Menteri Agama.
c. Pembinaan
dan pengawasan mutu pelajaran umum dilakukan oleh Menteri
Pendidikan dan
Kebudayaan bersama – sama Menteri Agama dan Menteri
dalam Negeri.
Adapun
bantuan pemerintah dalam rangka peningkatan mutu pada madrasah meliputi sebagi
berikut:
a. Dalam
bidang pengajaran umum dengan mengadakan buku – buku mata
pelajaran
pokok dan alat pendidikan lainnya.
b.
Dalam bidang sarana fisik dengan
melakukan penataran dan bantuan pengajaran.
c.
Dalam bidang sarana fisik dengan
pembangunan gedung sekolah. Sedangkan pelaksanaan bantuan tersebut di atas
diatur bersama – sama oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
dan Menteri Dalam Negeri.
d.
Badan anggaran dalam pelaksanaan
ketentuan – ketentuan dalam SKB Tiga Menteri tersebut di atas, dibebankan
kepada anggaran Departemen Agama, sedangkan yang berupa bantuan dibebankan
kepada anggaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Dalam
Negeri.
e.
Dalam pelaksanaan SKB Tiga Menteri ini,
Departemen Agama sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam bidang – bidang yang
harus dilaksanakan telah mengusahakan hal – hal sebagai berikut:
1)
Melakukan pembakuan kurikulum madrasah
untuk semua tingkat yang
realisasinya
dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1976 untuk Ibtidaiyah;
No. 74 Tahun 1976 untuk Tsanawiyah; dan No. 75 Tahun 1976 untuk tingkat Aliyah.
Pelaksanaan kurikulum ini dilaksanakan secara bertahap sejak tahun ajaran 1976
dan dalam tahun 1979 semua jenjang madrasah harus telah dapat melaksanakan
kurikulum baru tersebut.
2) Memberikan
legalitas yuridis untuk mempersamakan tingkat / derajat madrasah dengan sekolah
umum dan mempersembahkan ijazah madrasah swasta dengan madrasah negeri. Masing
– masing dituangkan dengan keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1976 dan No. 5
Tahun 1977. kemudian di dalam pelaksanaan teknis persamaan ijazah madrasah
swasta dengan madrasah negeri telah diatur oleh Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/69/77, yang mengatur tentang status
madrasah terdaftar dan status madrasah dipersamakan dengan persyaratan –
persyaratannya.
3) Dalam
rangka efektifitas pendidikan di madrasah itu pula maka telah dilakukan
restrukturisasi madrasah dengan Keputusan Menteri Agama No. 15 Tahun 1976 (
untuk Madrasah Ibtidaiyah ), No. 16 Tahun 1976 ( untuk MTsN ), dan No. 17 Tahun
1976 ( untuk MAN ).
BAB III
PENUTUP
1.
Pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan
lah sebuah kebijakan berupa Surat
Keputusan
Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti
Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb)
dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud).
2.
Dalam Implikasi SKB 3 Menteri ada
beberapa aspek yaitu meliputi aspek lembaga, kurikulum, siswa dan aspek
masyarakat.
3.
Efektifitas SKB 3 Menteri adalah
bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat pelajaran
umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran
umum di sekolah umum yang setingkat, kemudian meningkatan mutu pendidikan pada
madrasah agar tujuan dimaksudkan di atas tercapai dan pembinaan fungsional
dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah berdasarkan SKB Tiga
Menteri.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Ricky-diah, “ makalah-skb-3-menteri-1975
“ , dalam http://blogspot.com/2011/11/makalah-skb-3-menteri-1975.html, diakses pada hari juma’at 10 Oktober 2014
Ø Arif, Abdul, “ Madrasah
Dalam Politik Pendidikan “ , Di Indonesia, Jakarta: Wacana Ilmu, 2005.
No comments:
Post a Comment