PERADABAN ISLAM
PADA MASA DAULAH BANI
ABBASIYAH
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah tidak ubahnya
kacamata masa lalu yang menjadi pijakan dan langkah setiap insan di masa
mendatang. Hal ini berlaku pula bagi kita para mahasiswa IAIN Walisongo
Semarang untuk tidak hanya sekedar paham
sains tapi juga paham akan sejarah peradaban Islam di masa lalu untuk
menganalisa dan mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang pernah terjadi.
Seperti yang kita ketahui setelah tumbangnya kepemimpinan masa
khulafaur-rasyidin maka berganti pula sistem pemerintahan Islam pada masa itu
menjadi masa daulah dan dalam makalah ini akan disajikan sedikit tentang peradaban Islam pada Daulah Abbasiyah.
Abbasiyah berasal dari
keluarga paman nabi yang bernama al-Abbas, dari golongan Hasyim di Makkah. Dan
karena keturunan ini, mereka mengklaim legitimasi di mata orang-orang saleh,
sesuatu yang tidak dimiliki Bani Umaiyah.[1][1]
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kemunculan Daulah Abbasiyah dan sistem kekhalifahannya?
2. Bagaimana masa kejayaan Daulah Abbasiyah?
3. Bagaimana runtuhnya Daulah Abbasiyah?
II.
PEMBAHASAN
Dengan tumbangnya Daulah Bani Abbasiyah maka keberadaan Daulah Bani
Abbasiyah mendapatkan tempat penerangan dalam masa kekhalifahan Islam saat itu,
di mana Daulah Abbasiyah ini sebelumnya telah menata kekuatan yang begitu rapi
dan terencana. Dalam makalah ini akan diuraikan sedikit mengenai masa
kekhalifahan Abbasiyah, sistem politiknya, masa kejayaan dan prestasi apa saja
yang pernah diraih serta apa saja penyebab runtuhnya Daulah Abbasiyah.
Awal kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah ditandai dengan pembangkangan
yang dilakukan oleh Dinasti Umaiyah di
Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd al-rahman al-dakhil bergelar Amir
(jabatan kepala wilayah ketika wilayah ketika itu), sedangkan di sisi lain, ia
tidak tunduk kepada khalifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan abd al-rahman
al-dakhil terhadap bani abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh
Muawiyah terhadap Ali Bin Abi Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan dinasti Abbas
termasuk lama yaitu sekitar lima abad.
Kekuasaan Dinasti Abbas atau Khalifah Abbasiyah, melanjutkan kekuasaan
dinasti Umaiyah.
Dinamakan khalifah
Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa ini adalah keturunan al-Abbas paman
nabi Muhammad SAW. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,
dari tahun 132h-656h / 750m-1258m. Selama dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan dan pola politik itu para
sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan bani Abbas menjadi lima periode:
1. Periode pertama (132h-232h / 750m-857m), disebut periode pengaruh Persia
pertama,
2. Periode kedua (232h-334h / 847m-945m), disebut masa pengaruh Turki pertama,
3. Periode ketiga (334h-447h / 945m-1055m), masa kekuasaan dinasti Buwaih
dalam pemerintahan Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia
kedua.
4. Periode keempat (447h-590h / 1055m-1194m), masa kekuasaan dinasti bani
sejak dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan
pengaruh Turki kedua.
5. Peride kelima (590h-656h / 1194m-1258m) ,masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.
A. Kelahiran Daulah Abbasiyah
Masa Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering
disebut dengan istilah “the golden age”. Pada masa itu umat Islam telah
mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan.
Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah
lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahas asing ke bahasa arab.
Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang
menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Bani Abbas mewarisi imperium besar bani Umaiyah. Hal ini
memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah
dipersiapkan oleh daulah Bani Umaiyah yang besar . Menjelang tumbangnya Bani
Umaiyah telah terjadi kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara,
terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para
khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah
pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam. Termasuk salah satunya pengucilan
yang dilakukan Bani Umaiyah terhadap kaum Mawali yang menyebabkan ketidakpuasan
dalam diri mereka dan akhirnya banyak terjadi kerusuhan.
Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan
kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720m) berkuasa. Khalifah
itu dikenal memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syi’ah.
Keturunan bani Hasyim dan bani Abbas yang ditindas oleh bani umaiyah bergerak
mencari jalan bebas, di mana mereka mendirikan gerakan rahasia untuk
menumbangkan Daulah Umaiyah dan membangun Daulah Abbasiyah. Di bawah pimpinan
imam mereka Muhammad bin Ali Al-Abbasy mereka bergerak dalam dua fase, yaitu
fase sangat rahasia dan fase terang-terangan dan pertempuran. Selama imam
Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim ke
seluruh pelosok negara dan mendapat pengikut yang banyak, tertutama dari
golongan-golongan yang merasa ditindas, bahkan juga dari gholongan-golongan
yang pada mulanya mendukung Daulah Umaiyah.
Setelah imam Muhammad meninggal dan oleh anaknya Ibrahim,
pada masanya inilah bergabung seorang pemuda berdarah Persia yang gagah bersni
dan cerdas dalam gerakan rahasia ini yang bernama Abu Muslim Al-Khurasani.
Semenjak masuknya Abu Muslim ke dalam gerakan Abbasiyah ini, maka dimulailah gerakan
dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuaran dan akhirnya dengan
dalih ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan. Abu
Abbas pimpinan gerakan tersebut berhasil menarik dukungan kaum Syi’ah dalam
mengorbankan perlawanan terhadap kekhalifahan Umaiyah. Abu Abbas kemudian
memulai makkar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga
khalifah, yang waktu itu dipegang oleh khalifah Marwan II Bin Muhammad. Begitu
dahsyatnya pembunuhan itu sampai abu Abbas menyebut dirinya sang pengalir darah
atau As-Saffah. Maka bertepatan pada bulan Zulhijah 132h (750m) dengan
terbunuhnya khalifah Marwan II di Fusthath, Mesir dan maka resmilah berdiri
Abbasiyah.
Dalam peristiwa tersebut salah seorang pewaris tahta
kekhalifahan Umaiyah, yaitu Abdurrahman yang baru berumurt 20tahun, berhasil
meloloskan diri ke daratan Spanyol. Tokoh ini yang kemudian berhasil menyusun
kembali kekuatan Bani Umaiyah di seberang lautan, yaitu di Keamiran Cordova. Di
sana dia berhasil mengembalikan kejayaan
kekhalifahan Umaiayah dengan nama kekhalifahan Andalusia. Pada awalnya
kakhalifahan Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat pemertintahan dengan Abu
Abbas As-Safah (750-754m) sebagai khalifah pertama. Kemudian khalifah
penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (750-775m) memindahkan pusat pemerintahan ke
Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang
akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan
nama Daulah Abbasiyah.
Dalam beberapa hal Daulah Abbasiyah memiliki kesamaan dan
perbedaan dengan Daulah Umaiyah. Seperti yang terjadi pada masa Daulah Umaiyah
misalnya para bangsawan cenderung hidup mewah dan bergelimang harta. Mereka
gemar memelihara budak belian serta istri peliharaan. Kehidupan cenderung pada
kehidupan duniawi ketimbang nilai-nilai agama Islam.
B. Sistem Politik, Pemerintahan, dan Sosial
1. Sistem Politik dan Pemerintahan
Khalifah pertama Bani Abbasiyah, Abdul Abbas yang
sekaligus dianggap sebagai pendiri Bani Abbas, menyebut dirinya sebagai julukan
al-Saffah yang berarti sang penumpah darah. Sedangkan khalifah Abbasiyah kedua
mengambil gelar al-Mansur dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah. Di
bawah Abbasiyah, kekhalifahan berkembang sebagai sidtem poltik. Dinasti ini
muncul dengan bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan terhadap bani
Umaiyah di dala masalah sosial dan politik diskriminasi. Khalifah-khalifah
Abbasiyah yang memakai gelar “imam”, pemimpin masyarakat Muslim bertujuan untuk
menekankan arti keagamaan kekhalifahan Abbasiyah mencontoh tradisi Umaiyah di
dalam mengumumkan lebih dari satu putra mahkota.
Al-mansur dianggap sebagai pendiri kedua dari dinasti
Abbasiyah dan merupakan pusat perdagangan serta kebudayaan. Hingga Baghdad
dianggap sebagai kota terpenting di dunia pada saat itu yang kaya akan ilmu
pengetahuan dan kesenian. Hingga beberapa dekade kemudian dinasti Abbasiyah
mencapai masa kejayaan. Ada beberapa sistem politik yang dijalankan oleh Daulah
Abbasiyah, yaitu di antaranya:
a. Para khalifah tetap dari keturunan Arab murni,sedangkan pejabat lainnya
diambil dari kaum Mawalai,
b. Kota Baghdad dijadikan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan
politik, ekonomi, sosial dan budaya serta terbuka untuk siapa saja, termasuk
bangsa dan penganut agama lain
c. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan
sesuatu yang harus dikembangkan.
2. Sistem Sosial
Pada masa ini sistem sosial adalah sambungan dari masa
sebelumnya (masa dinasti Umaiyah) akan tetapi pada masa ini terjadi beberapa
perubahan yang sangat mencolok, yaitu:
a. Tampilnya kelompok Mawali dalam pemerintahan serta mendapatkan tempat yang
sama dalam kedudukan sosial.
b. Kerajaan Islam Abbasiyah terdiri dari beberapa bangsa yang berbeda-beda
(bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab,dll).
c. Perkawinan campuran yang menghasilkan darah campuran.
d. Terjadinya pertukaran pendapat sehingga muncul kebudayaan baru.
C. Kejayaan Daulah Abbasiyah
Masa Abbasiyah menjadi tonggak puncak peradaban Islam.
Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah secara terbuka mempelopori perkembangan ilmu
pengetahuan dengan mendatangkan naskah-naskah kuno dari berbagai pusat
peradaban sebelumnya untuk kemudian diterjemahkan, diadaptasi dan diterapkan di
dunia Islam. Para ulama Muslim yang ahli di dalam berbagai ilmu pengetahuan
baik agama maupun non agama juga muncul pada masa ini. Pesatnya perkembangan
peradaban juga didukung oleh kemajuan ekonomi imperium yang menjadi penghubung
dunia timur dan barat. Stabilitas politik yang relatif baik tertutama pada masa
Abbasiyah awal ini juga menjadi pemicu kemajuan peradaban Islam.[3][3]
1. Gerakan Penerjemahan
Meski kegiatan penerjemahan sudah mulai sejak Daulah
Umaiyah, upaya untuk menerjemahkan dan menskrinsif berbahasa asing terutama
bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab mengalami masa keemasan pada masa
Daulah Abbasiyah. Para ilmuwan di utus ke daerah Bynzantium untuk mencari
naskah-naskah Yunani dalam berbagai ilmu terutama filsafat dan kedokteran.
Pelopor gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan
Daulah Abbasiyah adalah khalifah al-mansur yang juga membangun ibu kota
Baghdad. Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama dalam bidang
astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudian naskah-naskah filsafat karya
Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam masa keemasan, karya yang
banyak diterjemahkan tentang ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran. Naskah
astronomi dan matematika juga diterjemahkan namun karya-karya berupa puisi,
drama, cerpen, dan sejarah jarang diterjemahkan karena bidang ini dianggap
kurang bermanfaat dan dalam hal bahasa, Arab sendiri perkembangan ilmu-ilmu ini
sudah sangat maju.
Pada masa ini, ada yang namanya Baitul Hikmah yaitu
perpustakaan yang berfungsi sebagasi pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Pada
masa Harun ar-Rasyid diganti menjadi Khizanah al-hikmah (khazanah
kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Pada
masa al-Ma’mun ia dikembangkan dan diubah namanya menjadi bait, al-hikmah, yang
digunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno
yang didapat dari Persia, Binzantium, dan bahkan Ethiopia dan India. Direktur
perpustakaannya seorang nasionalis Persia, Sahl Ibnu harun. Di bawah kekuasaan
al-Ma’mun, lembaga ini sebagai perpustakaan juga sebagai pusat kegiatan study
dan riset astronomi dan matematika.[4][4]
2. Dalam Bidang Filsafat
Pada masa ini pemikiran filsafat mencakup bidang keilmuan
yang sangat luas seperti logika, geometri, astronomi, dan juga teologi.
Beberapa tokoh yang lahir pada masa itu, termasuk di antaranya adalah al-Kindi,
al-Farobi, Ibnu Sina, dan juga al-Ghozali yang kita kenal dengan julukan
Hujjatul Islam.
3. Perkembangan Ekonomi
Ekonomi imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan.
Sudah terdapat berbagai macam industri seperti kain linen di Mesir, sutra dari
Syria dan Irak, kertas dari Samarkand, serta bebagai produk pertanian seperti
gandum dari Mesir dan kurma dari Irak. Hasil-hasil industri dan pertanian ini
diperdagangkan ke berbagai wilayah kekuasaan Abbasiyah dan negara lain. Karena
insdustrialisasi yang muncul di perkotaan ini, urbanisasi tidak dapat dibendung
lagi. Selain itu, perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambah
dari Nubia dan Sudan barat melambungkan perekonomian Abbasiyah. Perdagangan
dengan wilayah-wilayah lain merupakan yang sangat penting. Secara bersamaan
dengan kemauan Daulah Abbasiyah, dinasti tang dari Cina juga mengalami masa
puncak kejayaan sehingga hubungan perdagangan antara keduanya menambah
semaraknya kegiatan perdagangan dunia.
4. Dalam Bidang Keagamaan
Di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah, ilmu-ilmu keagamaan
mulai dikembangkan. Dalam masa inilah ilmu metode tafsirnjuga mulai berkembang,
tertuma dua metode penafsiran, yaitu Tafsir Bir Ra’i dan Tafsir Bil Ma’tsur.
Dalam bidang hadits, pada masa ini hanya merupakan penyempurnaan, pembukaan
dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada masa ini pula dimulainya
pengklasifikasian hadits, sehingga muncul yang namanya hadits dhaif,
maudlu’, shahih serta yang lainnya.
Sedangkan dalam bidang hukum Islam karya pertama yang
diketahui adalah Majmu’ al Fiqh karya Zaid bin ali (w. 122h/740m) yang berisi
tentang fiqh syari’ah zaidiyah. Hakim agung yang pertama adalah Abu Hanifah (w.
150/767). Meski dianggap sebagai pendiri Mazhab Hanafi, karya-karya nya sendiri
tidak ada yang terselamatkan. Dua bukunya yang berjudul fiqh al-akbar (terutama
berisi artikel tentang keyakinan) dan Wasiah Abi Hanifah berisi
pemikiran-pemikirannya terselamatkan karena ditulis oleh para muridnya.
D. Runtuhnya Daulah Abbasiyah
Tak ada gading yang tak retak. Mugkin pepatah inilah yang
sangat pas untuk dijadikan cermin atas kejayaan yang digapai Bani Abbasiyah.
Meskipun Daulah Abbasiyah begitu bercahaya dalam mendulang kesuksesan hampir
dalam segala bidang. Namun ia pun mulai kaku dan akhirnya runtuh. Menurut
beberapa literatur, ada beberapa sebab keruntuhannya daulah Abbasiyah, yaitu:
a. Faktor internal
Mayoritas khalifah Abbasiyah periode akhir lebih
mementingkan urusan pribadi dan melalaikan tugas dan kewajiban mereka terhadap
negara. Luasnya wilayah kekuasaan kerajaan Abbasiyah, sementara komunikasi
pusat dan daerah sulit dilakukan. Semakin kuatnya pengaruh keturunan Turki,
mengakibatkan kelompok Arab dan Persia menaruh kecemburuan atas posisi mereka.
Dengan profesionalisme angkatan bersenjata ketergantungan khalifah kepada
mereka sangat tinggi.
Permusuhan antara kelompok suku dan kelompok agama.
Merajalelanya korupsi di kalangan pejabat kerajaan.
b. Faktor eksternal
Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang/periode dan menelan
banyak korban. Kedua, penyerangan atau penyerbuan tentara Mongol di
bawah pimpinan Hulagu khan yang menghancurkan Baghdad. Jatuhnya Baghdad oleh
Hukagu Khan menandai berakhirnya kerajaan Abbasiyah dan muncul kerajaan
Syafawiah di Iran, kerajaan Usmani di Turki dan kerajaan Mughal di India.[5][5]
Perang Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara
Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci
Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha ndan Kristen
Nestorian.[6][6]
Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang
Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl-kitab. Tentara
Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki
Yerrusalem.[7][7]
III.
KESIMPULAN
Dinamakan khalifah Bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasanya
adalah keturunan Abbas paman nabi muhammad SAW. Dinasti ini didirikan oleh
Abdullah al Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Abdullah Ibn Abbas. Berdirinya dinasti
ini tidak terlepas dari keamburadulan dinasti sebelumnya, yaitu dinasti
Umaiyah. Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah dekat Kuffah. Namun
untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negar, al-Mansur memindahkan ibu
kota negara ke Baghdad. Dengan demikian pusat pemerintahan dinasti Abbasiyah
berada di tengah-tengah bangsa Persia. Al-Mansur melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki
jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Puncak perkembangan Dinasti Abbasiyah tidak seluruhnya berawal dari
kreatifitas penguasa Bani Abbasiyah sendiri. Sebagian di antaranya sudah di
mulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan misalnya di awal
Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Namun, lembaga-lembaga ini
kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas dengan berdirinya
perpustakaan dari akademi. Pada beberapa dekade terakhir, Daulah Abbasiyah
mulai mengalami kemunduran, terutama dalam bidang politiknya dan akhirnya
membawanya pada perpecahan yang menjadi akhir sejarah Daulah Abbasiyah.
IV.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, kami
menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi kebaikan makalah kami
selanjutnya. Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi kita semua. Amien…..
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Katen. 2002. Islam
Sejarah Singkat. Yogyakarta : Jendela
Hasyimy, A. 1993. Sejarah
Kebudayaan Islam. Jakarta : Bulan Bintang
C.E, Bosworth. 2003. Dinasti-Dinasti
Islam. Jakarta : Akbar Media Eka Sarana
Yatim, Badri. 2002. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada
http://amy-ora-mudeng.blogspot.com/2012/05/peradaban-islam-pada-masa-daulah-bani.html
terimakasih atas informasinya....
ReplyDelete